Selamat Datang!

Selamat menikmati luapan kebosanan...

Selasa, 19 Januari 2016

Menimbun Harapan, Menimbun Kecewa

Akhir-akhir ini sering mendengar curahan dari beberapa teman yang menaruh harapan pada seseorang. Iya, saya pernah berada di posisi itu. Ber ha rap.
Bahkan sampai detik ini. Bukan hanya harapan pada seseorang, tapi juga banyak harapan yang lain. 

Manusia itu sulit mengendalikan diri.
Sulit mengontrol banyak keinginannya.

Ketika secuil harapan terwujud, muncul lagi harapan yang lain.
Manusia tidak akan pernah puas.

Seringkali saat kita menaiki tangga harapan hingga terlalu tinggi, saat itu juga kita sama sekali tidak punya persiapan apabila suatu saat kita tergelincir dan terjatuh. Atau, setelah kita tiba di puncak harapan, ternyata kita belum siap menerima kenyataan bahwa di atas sana kita tidak menemukan apa-apa. K O S O N G.

Kita lupa untuk bercermin, berpikir apakah usaha yang kita lakukan sudah cukup baik dan benar? Apakah harapan itu pantas untuk diperjuangkan? Sebaliknya, apakah kita memang pantas untuk mendapatkannya?

Bukan berarti pesimis atau berpikiran negatif.
Berprasangka baik itu perlu. Dan berprasangka baik bukan berarti terlalu percaya diri.
Tapi berprasangka baiklah saat harapan itu ternyata tidak mungkin kita gapai.
Mungkin, Tuhan sedang mempersiapkan untuk mewujudkan harapan lain yang jauh lebih baik dan akan diberikan untuk kita di waktu yang tepat.

Iya... Terkadang, tanpa disadari kita terlalu banyak menimbun harapan, yang berarti kita juga akan menimbun rasa kecewa.

Rabu, 16 Desember 2015

Ngopi Yuk!




 
Sebenarnya ini bukan ajakan yang menarik, karena aku tidak suka kopi.
Tapi entahlah… aku cukup tertarik saat kamu mengirim pesan itu.

Cukup? Ehmm… Mungkin lebih tepatnya sangat tertarik.

Meskipun pada akhirnya aku lebih memilih untuk memesan minuman coklat, strawberry atau bahkan air mineral.

Aku tak peduli.

Hingga akhirnya aku sadar, ternyata pertemuan di balik ajakan “Ngopi Yuk!” itulah yang membuatku begitu bahagia.

Kamis, 10 Desember 2015

Jari Seorang Sahabat, Jari Seorang Aku...


Jika ditanya, bagian tubuh manakah yang paling aku benci? 
Maka aku akan menjawab “Jari”.
Ya, aku benci jariku. Aku benci pada jari yang selalu bergerak tanpa bisa kucegah.  Jari yang selalu ingin tahu untuk melihat recent update status dirinya, jari yang dengan cepat mengetik sebuah pesan untuknya, dan jari yang selalu berinisiatif lebih cepat daripada otakku.
Dia, seseorang yang aku kenal beberapa bulan terakhir ini.
Menurut ilmu biologi, jari itu digerakkan oleh otak manusia, tapi entahlah kali ini jariku bergerak tanpa bisa kukendalikan. Kadang aku malu dan menyesal setelah jari ini berhasil mengetik pesan dan mengirimnya ke dia. Aku khawatir pesanku akan membuatnya terganggu atau malah ilfeel padaku.
Aku selalu cemas saat melihat pesan yang dikirimkan jariku. Jariku selalu bereaksi dengan cepat dan spontan mengirim pesan untuknya, hanya untuk mengomentari status orang itu atau memamerkan sebuah foto padanya. Kadang aku senang jika aksi berani jariku itu membuatku dapat berbincang seru dengannya. Namun, kadang aku juga kesal pada jariku karena aksi usil jariku itu kadang membuat aku merasa malu jika pesan yang dikirimkannya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Dibaca tanpa balasan.
Entahlah aku juga bingung, kenapa jari ini selalu bergerak dengan cepat saat melihat namanya pada layar handphone-ku. Jari ini seolah memiliki alarm dan signal yang kuat jika menyangkut tentang namanya. Aku mencoba mencari jawaban dari semua ini, tapi entahlah aku tidak bisa menjelaskannya.
Jari ini telah menuntunku masuk ke dalam rasa yang tidak pasti tentang dirinya.
Aku tidak tahu secara jelas dan pasti tentang dirinya. Aku tidak tahu dia dari keluarga seperti apa, Aku tidak begitu tahu apa pekerjaan yang dilakukannya, Aku tidak tahu banyak tentang dia. Terlepas dari semua itu, yang aku tahu, aku begitu nyaman saat berbincang dengannya. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat bersamanya. Tanpa aku sadari, begitu banyak cerita yang keluar dari mulutku dan dia pun bersedia mendengar celotehanku. Dia membuatku tertawa lepas dan tersenyum saat dia bertingkah lucu. Hingga aku pun sadar, ternyata tidak banyak yang ia ceritakan kepadaku. Aku merasa seperti air yang dituangkan terus menerus ke dalam sebuah gelas. Entahlah, apakah gelas itu masih mau terus menampung air ini atau tidak.
Jika suatu saat Tuhan mengijinkan aku bertemu lagi dengannya, maka aku akan lebih banyak bertanya tentang dirinya, aku ingin mendengarkan banyak cerita darinya. Aku juga ingin menjadi sebuah gelas.
Terlepas dari semua yang telah dilakukan oleh Jariku, aku memang kesal. Namun, aku juga merasa senang berkat aksi si Jari ini aku dapat bertemu dengannya.
Terima kasih, Jari....  :)

(Ditulis oleh Indiana Yanuar ; Disunting oleh Ayu DA)

Rabu, 07 Oktober 2015

Rumah = Kamu


Ini rumah yang sangat indah.
Sederhana, penuh kasih dan menenangkan.
Meskipun kadang ada sarang laba-laba yang mengganggu pemandangan,
ataupun ular yang menyelinap masuk.
Terkadang juga atapnya tiba-tiba bocor saat hujan lebat.
Tapi ada kebahagianku di dalam sana.
Aku ingin menjaga dan merawat rumah ini.
Menghabiskan sisa hidupku di sini.

Tuhan, aku pilih tinggal di sini saja ya?

Selasa, 06 Oktober 2015

Sedang Kacau


Mengambil keputusan untuk menjadi sepasang itu nggak gampang.
Awal yang tidak mudah. Pilihan yang cukup berat.
Ada banyak resiko yang harus dihadapi.
Tapi tetap, musuh terbesar ada di dalam diri sendiri.
Akhir-akhir ini pikiran negatif dan rasa takut sering muncul.
Takut ada banyak pilihan untuknya di luar sana. Takut suatu saat dia memilih untuk tak tinggal. Takut tidak sampai pada tujuan yang sering kami bicarakan.
Dan banyak lagi pikiran-pikiran sialan itu.
Ada rasa yang terlalu berlebih di sini.
Berat. Suasana hati runyam.
Tapi harus bisa melawan.
Melawan diri sendiri.



( Ditulis pas lagi PMS. Mungkin gara-gara ini kali yaa.. :p )

Selasa, 08 September 2015

Tangisan Pagi Hari

Seseorang yang aku sendiri tidak tahu darimana asalnya, tiba-tiba bertanya tentangmu. 
Aku hanya diam. Aku sedang tidak ingin membahasnya.
Tapi tiba-tiba kau muncul dihadapanku. Aku yang sedang duduk melantai hanya menganga melihatmu. Aku merasa serba salah.
Kau datang menghampiriku, lalu menanyakan sebuah kejadian yang sampai sekarang mungkin masih membuatmu sangat sakit hati, kejadian yang meskipun aku meminta maaf berkali-kali, kau masih saja tidak akan menerimaku kembali untuk menjadi sahabatmu.

“Benar kan yang aku tanyakan waktu itu?”, tanyamu.
“Apa? Yang mana?”

Aku teringat banyak pertanyaan sekaligus pernyataan yang kau kirim ke ponselku sekitar tujuh bulan lalu. Setelahnya, tak ada tegur sapa lagi, kita tak pernah saling bertemu.

Aku berdiri, memelukmu erat, tangisku meledak sambil mengucapkan maaf.
Kau melepaskan pelukanku.

“Nggakpapa… Aku udah biasa aja…”, jawabmu sambil menepuk pundakku.

Kesedihan sama sekali tidak nampak di raut wajahmu. Kau menyuruhku untuk menjalani hidupku sendiri seperti biasa, dan kau pun menjalani hidupmu seperti biasa. Dan mungkin kita kembali untuk tak usah saling mengenal. Aku masih saja menangis.

Pagi itu aku terbangun dari tidurku dengan tangisan.

Boneka dari Ayah



 
Suatu hari seorang anak mendapat hadiah dari Ayahnya. Sebuah boneka yang sangat cantik. Tidak mudah bagi Ayahnya mendapatkan boneka itu. Boneka yang cukup mahal dan salah satu boneka yang dijual terbatas di kotanya. Sang anak merasa sangat senang dengan hadiah pemberian Ayahnya.
 
Namun seiring berjalannya waktu, si anak mulai bosan dengan boneka pemberian Ayahnya. 
Saat bermain dengan kawan-kawannya, si anak selalu mengeluh karena merasa bonekanya tidak sebagus milik si A atau si B.

Hingga suatu hari, si anak sengaja meninggalkan boneka itu selepas pulang bermain bersama teman-temannya. 

Saat tiba di rumah, si anak menangis dan mengatakan kepada Ayahnya bahwa bonekanya telah hilang dicuri orang lain. Si anak merengek meminta boneka yang baru kepada Ayahnya, namun sang Ayah hanya tersenyum, mencoba menenangkan anaknya dan meminta si  anak bersabar.

Hari demi hari berlalu, si anak masih menunggu Ayahnya untuk memberikannya sebuah boneka baru. Berkali-kali si anak menanyakan ke Ayahnya, hingga akhirnya ia cukup kesal karena Ayahnya tidak kunjung menuruti permintaannya. 

Si anak pun merasa ingin mencari kembali boneka pemberian Ayahnya yang telah sengaja ia tinggalkan. Ia kembali ke tempat biasa ia bermain bersama teman-temannya, tapi boneka itu sudah tidak ada. Ia tidak pernah menemui bonekanya lagi.

Kejadian tersebut hanya sebuah ilustrasi. Terkadang kita tidak pernah puas dengan apa yang sudah kita peroleh. Kita lupa untuk bersyukur, dan selalu menuntut lebih. Kita selalu menyesali apa yang kita tidak punya, hingga lupa untuk menghargai apa yang sudah kita punya.